Indonesia telah meraih kemerdekaannya sejak 64 tahun silam.
Namun sejatinya, bangsa ini belum meraih kebebasan dalam mengelola sumberdaya
alam yang dimilikinya. Selama puluhan tahun, Indonesia terjebak dalam sistem
pertambangan kapitalis dan mengabaikan amanat konstitusi. Melalui
kebijakan-kebijakan yang ada, Indonesia telah lepas kendali dalam pengelolaan
sumberdaya pertambangan yang dimilikinya. Sebenarnya, negara kita adalah
pemilik sumberdaya alam yang sangat kaya. Namun pada saat mengelolanya negara telah
dirugikan oleh korporasi-korporasi swasta dan asing yang dengan leluasa
melakukan eksploitasi. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menguasai,
mengeksploitasi dan menguras sumberdaya tersebut dengan target produksi
sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan justru mendukung penguasaan
sumberdaya oleh asing. Misalnya UU No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal
serta Peraturan Presiden No.76 dan 77 Tahun 2007, yang seolah member jalan
mulus bagi korporasi-korporasi asing untuk menguasai perekonomian Indonesia,
termasuk penguasaan sumberdaya pertambangan. Selain itu juga, seperti pada
kasus penambangan di hutan lindung yang semula dilarang, seperti tercantum
dalam UU No.41 Tahun 1999, namun oleh pemerintah dibolehkan kembali dengan
menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2004. Amanat konstitutsi pasal 33 UUD 1945
menegaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dengan kata lain, pemanfaatan kekayaan alam Negara harus diperuntukkan dan
tidak boleh merugikan rakyat. Termasuk juga didalamnya pengelolaan sumberdaya
minyak dan gas bumi (migas), pertambangan mineral dan batu bara (minerba) sarta
pengelolaan sumberdaya air.
PT Freeport Indonesia
Freeport McMoRan Copper and Gold pada awalnya merupakan sebuah
perusahaan kecil yang berasal dari Amerika Serikat yang memiliki nama Freeport
Sulphur. Freeport McMoRan didirikan pada tahun 1981 melalui merger antara
Freeport Sulphur, yang mendirikan PT Freeport Indonesia dan McMoRan Oil and Gas
Company. Perusahaan minyak ini didirikan oleh Jim Bob Moffet yang menjadi CEO
Feeport McMoRan. Sejak menemukan deposit emas terbesar dan tembaga terbesar
nomor tiga di dunia yang terletak di Papua Barat, perusahaan ini berubah
menjadi penambang emas raksasa skala dunia. Total asset yang dimiliki oleh
Freeport hingga akhir tahun 2005 mencapai 3.3 miliar US dollar.
Aktivitas pertambangan Freeport di Papua yang dimulai sejak
tahun 1967 hingga saat ini talah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini,
kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan
finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum
memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua dan masyarakat lokal disekitar
wilayah pertambangan.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara
pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi
perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK I ini
juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan No.11 Tahun 1967 yang disahkan
pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK I.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Etsberg, kawasan yang
selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter.
Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa
lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung hingga saat ini. Dari eksploitasi
kedua wilayah ini, sekitar 7.3 juta ton tembaga dan 724.7 juta ton emas telah
dikeruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2.4
kilometer pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalaman 800 m2.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini
telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang
tidak optimal, peran negara/ BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola tambang yang
sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya
bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg. Kerusakan lingkungan telah
mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai
Ajkwa.
Kerusakan Lingkungan
Permintaan
akan bahan tambang di pasar dunia di masa mendatang tampaknya akan terus
meningkat. Permintaan tembaga, misalnya, terus naik bersamaan dengan
meningkatnya perekonomian negara-negara di dunia. Hal ini dibarengi dengan
peningkatan sektor industri, terutama industri yang berkaitan dengan sektor
telekomunikasi dan listrik. Freeport sebagai produsen tembaga tentunya sangat
diuntungkan oleh kebutuhan industri ini.
Indonesia melalui
produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia.
Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan, misalnya dari 928.2000 ton
pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994 dan 1,52 juta ton pada
tahun 1995. Proyeksi harga komoditas tembaga oleh Bank Dunia menunjukan
kecenderungan untuk terus naik. Sementara itu, negara-negara produsen lainnya
seperti Amerika dan Canada telah mencapai titik maksimum produksi.
Dengan permintaan dunia
yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang
besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi
ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport. Produksi
tembaga Freeport meningkat sangat tinggi, misalnya pada tahun 1991 sebesar 50%
dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat terpenuhi karena semakin besarnya
wilayah eksploitasi yang diberikan pemerintah. Saat ini produksi tembaga
Indonesia 100% dihasilkan oleh PT Freeport.
Wilayah penambangan PT
Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2%
dari luas Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya PT FI hanya mendapatkan
wilayah konsesi seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan
yang luas itu dapat dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode
Ertsberg (1967-1988) dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi bijih logam
yang dikelola Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun 1995
naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data
tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih.
Freeport selalu mengklaim berkomitmen terhadap pengelolaan
lingkungan hidup yang kuat. Meskipun telah memiliki pengakuan ISO 14001 dan
mengklaim memiliki program komprehensif dalam memantau air asam tambang,
Freeport terbukti tidak memiliki pertanggung jawaban lingkungan. Perusahaan ini
beroperasi tanpa transparansi dan tidak memenuhi peraturan lingkungan yang ada.
Terlepas dari keharusan untuk menyediakan akses publik terhadap informasi
terkait lingkungan, Freeport belum pernah mengumumkan dokumen-dokumen
pentingnya, termasuk Studi Penilaian Resiko Lingkungan (Environmental Risk
Assessment). Freeport juga tidak pernah mengumumkan laporan audit eksternal
independen tiga tahunan sejak 1999, seperti yang disyaratkan Amdal. Dengan
demikian perusahaan melanggar persyaratan izin lingkungan.
Dampak yang dihasilkan secara kasat mata akibat limbah Freeport
tidak kalah menakjubkan. Produksi tailing yang mencapai 220 ribu ton per hari
dalam waktu 10 tahun terakhir menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa
hutan, sungai, dan lahan basah (wetland) seluas 120 ribu hektar,
Freeport masih akan beroperasi hingga tahun 2041. Jika tingkat produksinya
tetap, maka akan mencapai 225.000 hingga 300.000 ton bijih per hari. Selain
itu, Freeport juga tidak mampu mengolah limbahnya baik limbah batuan (Waste Rock),
tailing hingga air asam tambang (Acid Mine Drainage).
Limbah Batuan (Waste
Rock)
Hingga tahun 2005,
setidaknya sekitar 2.5 milyar ton limbah batuan Freeport dibuang ke alam. Hal
ini mengakibatkan turunnya daya dukung lingkungan sekitar pertambangan,
terbukti longsor berulang kali terjadi dikawasan tersebut. Bahkan salah satu
anggota Panja DPR RI untuk kasus Freeport menemukan fakta bahwa kecelakaan
longsor akibat limbah batuan terjadi rutin setiap tiga tahunan. Batuan limbah
ini telah menimbun danau Wanagon. Sejumlah danau berwarna merah muda, merah dan
jingga dikawasan hulu telah hilang, padang rumput Cartstenz juga didominasi
oleh gundukan limbah batuan lainnya yang pada tahun 2014 diperkirakan akan
mencapai ketinggian 270 meter dan menutupi daerah seluas 1.35 km2.
Erosi limbah batuantelah mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah
batuan yang tidak stabil telah menyebakan sejumlah kecelakaan.
Tailing
Ada dua hal yang membuat
tailing Freeport sangat berbahaya. Pertama, karena jumlahnya yang
sangat massif dan dibuang begitu saja ke lingkungan. Kedua,
kandungan bahan beracun dan berbahaya yang terdapat dalam tailing. Freeport
mengklaim bahwa tailingnya tidak beracun karena hanya menggunakan proses
pemisahan logam emas dan tembaga secara fisik. Freeport menyebutnya sebagai
proses pengapungan (floatasi), tanpa menggunakan sianida dan merkuri.
Hal yang sama juga dipakai oleh Newmont untuk tambang emasnya di Batu Hijau
Sumbawa, NTB. Faktanya, laporan Freeport menyebutkan mereka menggunakan
sejumlah bahan kimia dalam proses pemisahan logam yang bahkan resiko
peracunannya tidak banyak diketahui, bahkan oleh Freeport sendiri. Disamping
itu, didalam tailing Freeport masih terdapat kandungan tembaga yang masih
tinggi dan sangat beracun bagi kehidupanaquatic. Uji tingkat racun (toxicity)
dan potensi peresapan biologis (bioavailability) oleh Freeport di daerah
yang terkena dampak operasi tambang membuktikan bahwa sebagian besar tembaga
terlarut dalam air sungai terserap oleh tubuh makhluk hidup dan ditemukan
kandungannya pada tingkat beracun. Tembaga terlarut pada kisaran konsentrasi
yang ditemukan di sungai Ajkwa bagian bawah mencapai tingkat racun kronis bagi
30% hingga 75% organism air tawar. Tak hanya berbahaya karena kandungan logam
beratnya, jumlah tailing Freeport yang sangat masif juga memiliki bahaya yang
sama. Hingga tahun 2005 tidak kurang dari 1 milyar ton tailing beracun dibuang
Freeport ke sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa. Padahal cara pembuangan tailing
kesungai atau riverine tailing disposalseperti ini telah dilarang
disebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia.
Air Asam Tambang (Acid Mine Drainage)
Batuan tambang Freeport
mengandung logam sulfide (metal sulfides). Dimana ketika digali,
dihancurkan dan terkena udara dan air akan menjadi tidak stabil sehingga
menghasilkan masalah lingkungan serius. Masalah ini dikenal sebagai air asam
tambang (Acid Mine Drainage). Yang berbahaya karena memiliki tingkat
keasaman sangat tinggi (pH rendah). Limbah batuan tambang Grasberg yang
terakumulasi berpotensi membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke lingkungan
sekitar Grasberg dan menghasilkan AMD dengan tingkat keasaman tinggi hingga
rata-rata pH=3. Kandungan tembaga pada batuan rata-rata 4.500 gram per ton dan
eksperimen menunjukkan bahwa sekitar 80% tembaga ini akan tebuang (leach)
dalam beberapa tahun. Bukti menunjukkan pencemaran AMD dengan tingkat kandungan
tembaga sekitar 800 miligram per liter telah meresap ke air tanah di
pegunungan. Resiko pencemaran AMD juga terjadi di dataran rendah di daerah
penumpukan tailing. Hal ini terjadi karena Freeport menetapkan rasio yang
sangat rendah dalam penetralan asam (kapur) dibanding potensi maksimum keasaman
hanya (1.3 : 1), bahkan lebih rendah dibanding praktek terbaik industri tambang
yang ada. Partikel sulfida yang menghasilkan asam cenderung mengendap terpisah
dari partikel kapur yang lebih ringan yang bertugas menetralisir asam.
Pelanggaran Hukum Lingkungan
Sebagian besar kehidupan
air tawar sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing telah hancur
akibat pencemaran dan perusakan habitat. Freeport telah melanggar PP No.82
Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Dalam pasal 11 disebutkan bahwa pencemaran air adalah memasukkan atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan
manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan
air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Solusi
Tambang Freeport adalah
bukti kesalahan pengurusan pada sektor pertambangan di Indonesia dan bukti
tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap
emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah
sekian lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industry pertambangan
di tanah Papua. Tak hanya sebatas itu, pemerintah juga tidak pernah mampu
mengontrol perusahaan pertambangan agar lebih bertanggung jawab. Itulah sebab
nya pemerintah terus membiarkan Freeport membuang miliyaran limbahnya ke alam.
Meskipun belakangan diketahui bahwa Freeport belum memiliki izin pembuangan
limbah B3. Kementrian Lingkungan Hidup bahkan sudah menemukan sejumlah bukti
pelanggaran ketentuan hukum lingkungan sejak tahun 1997 hingga 2006. Pemerintah
juga tidak berani memaksa Freeport melakukan renegosiasi Kontrak Karya,
meskipun banyak pihak mendukung dan berbagai basis argumentasi telah dimiliki.
Oleh karena itu, ada
beberapa solusi dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain :melakukan
evaluasi terhadap seluruh aspek pertambangan Freeport terutama aspek
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, melakukan perubahan Kontrak Karya
Freeport yang lebih menguntungkan bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat
Papua pada khususnya, memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk
asli Papua terutama yang berada di wilayah operasi Freeport dan pihak
berkepentingan lainnya mengenai masa depan pertambangan tersebut serta
memetakan dan mengkaji sejamlah skenario bagi masa depan Freeport, termasuk
kemungkinan penutupan, kapasitas produksi dan pengolahan limbah.
Konsep pembangunan
berkelanjutan harus dikedepankan oleh pemerintah, dengan memelihara kelestarian
lingkungan. Maka, pemerintah dapat menghentikan secara sepihak kegiatan korporasi
asing yang dapat merusak lingkungan selama melakukan penambangan sumberdaya
alam Indonesia. Perusakan lingkungan oleh asing merupakan utang lingkungan.
Seluruh pajak, royalty dan pembagian keuntungan yang diperoleh Indonesia
melalui korporasi pertambangan asing, niscaya tidak akan dapat membangun
kembali lingkungan yang telah rusak total tersebut. Oleh karena itu, penanganan
kasus ini merupakan agenda mendesak yang harus segera diselesaikan oleh
pemerintah.
Si Pembawa Maut
Antimon
Antimon (Sb) sudah dikenal sejak abad ke-17. Terdiri dari dua bentuk, metal padat berwarna perak dan serbuk halus berwarna abu-abu. Banyak digunakan dalam industri untuk menguatkan metal lainnya. Juga untuk baterai, peluru, dan pelapis kabel.
Antimon (Sb) sudah dikenal sejak abad ke-17. Terdiri dari dua bentuk, metal padat berwarna perak dan serbuk halus berwarna abu-abu. Banyak digunakan dalam industri untuk menguatkan metal lainnya. Juga untuk baterai, peluru, dan pelapis kabel.
Arsenik
Arsenik (As) adalah logam toksik yang terdapat di alam, air, dan batu. Berwarna abu-abu, berbentuk kristal, dan rapuh. Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan kematian dan penyakit lain. Susah di deteksi karena tidak berbau dan tidak terasa.
Arsenik (As) adalah logam toksik yang terdapat di alam, air, dan batu. Berwarna abu-abu, berbentuk kristal, dan rapuh. Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan kematian dan penyakit lain. Susah di deteksi karena tidak berbau dan tidak terasa.
Merkuri
Merkuri (Hg) atau air raksa. Sudah digunakan sejak masa Mesir kuno 1.500 tahun sebelum Masehi. Keracunan merkuri mengakibatkan kerusakan permanen pada otak, sistem saraf, paru-paru, usus, ginjal, dan bahkan kematian.
Merkuri (Hg) atau air raksa. Sudah digunakan sejak masa Mesir kuno 1.500 tahun sebelum Masehi. Keracunan merkuri mengakibatkan kerusakan permanen pada otak, sistem saraf, paru-paru, usus, ginjal, dan bahkan kematian.
Alternatif Pengolahan Limbah Logam Berat
Sistem pembuangan limbah padat (tailing)
seperti dilakukan PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat berisiko tinggi.
Maklumlah, teknologi pembuangan tailing yang disebut submarine tailing disposal
(STD) ini menggunakan prinsip termoklin alias membuang limbah ke dasar laut.
Menurut Hazardous Substance Research Center di St. Louis, Amerika Serikat, ada dua teknologi alternatif untuk mengolah limbah padat berkandungan merkuri (Hg) dan arsenik (As), yaitu low temperature thermal desorption (LTTD), atau teknologi phytoremediation.
Menurut Hazardous Substance Research Center di St. Louis, Amerika Serikat, ada dua teknologi alternatif untuk mengolah limbah padat berkandungan merkuri (Hg) dan arsenik (As), yaitu low temperature thermal desorption (LTTD), atau teknologi phytoremediation.
Low Temperature Thermal Desorption
Material diuraikan pada suhu rendah (< 300
derajat Celsius) dengan pemanasan tidak langsung serta kondisi tekanan udara
lebih kecil dari 1 atmosfer. Material akan lebih mudah diuapkan daripada dalam
kondisi tekanan tinggi. Dengan sistem ini, polutan merkuri dan arsen akan
menguap (desorpsi), sedangkan limbah padat yang telah bersih dari polutan dapat
dibuang ke tempat penampungan.
Keunggulan: Proses pengolahan cepat, investasi
peralatan murah.
Kelemahan: Daerah buangan terbatas.
Phytoremediation
Menggunakan pohon, rumput, atau tanaman lain sebagai alat pengolah bahan pencemar. Limbah padat atau cair yang akan diolah ditanami tanaman tertentu yang menyerap, mengumpulkan, mendegradasi bahan-bahan pencemar dalam limbah.
Menggunakan pohon, rumput, atau tanaman lain sebagai alat pengolah bahan pencemar. Limbah padat atau cair yang akan diolah ditanami tanaman tertentu yang menyerap, mengumpulkan, mendegradasi bahan-bahan pencemar dalam limbah.
Keunggulan: Mudah dan murah.
Kelemahan: Perlu waktu lama dan pupuk untuk
menjaga kesuburan tanaman. Limbah di bawah tanah tak terjangkau. Tanaman
kemungkinan beracun.
sumber :http://apitmoti.blogspot.com/p/pertambangan-freeport-dan-kerusakan.html