Minggu, 31 Mei 2015

HAKI

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) 

Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Syarat-syarat dapat dibuatnya Hak Paten:
Syarat agar bisa mendapatkan hak paten ada tiga yaitu penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Yang kedua, penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apapun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal atau tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. Yang ketiga, penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious). Permohonan paten diajukan dengan cara mengisi formulir yang disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan diketik rangkap 4 (empat). Pemohon wajib melampirkan:
·         Surat kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui konsultan paten terdaftar selaku kuasa;
·         Surat  pengalihan hak, apabila permohonan diajukan oleh pihak lain yang bukan penemu;
·         Deskripsi, klaim, abstrak: masing-masing rangkap 3 (tiga).

Sanksi yang diberikan bilamana melanggar HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual):
Sanksi yang diberikan bagi pelanggar Hak Cipta, adalah tuntutan hukuman pidana, atau juga gugatan perdata, jika dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi, tanpa hak meniru/menyalin, menerbitkan/menyiarkan, memperdagangkan/mengedarkan, atau tanpa hak menjual hasil karya cipta orang lain atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta (produk-produk bajakan), maka akan dikenakan tindak pidana yang dikenakan sanksi-sanksi 'pidana'.
Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja, atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain, dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang dari hasil pelanggaran Hak Cipta, maka dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun, dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program komputer, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sumber :
http://e-tutorial.dgip.go.id/pengertian-hak-kekayaan-intelektual/
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kekayaan_intelektual
http://alinaprilian11.blogspot.com/2015/05/hakihak-atas-kekayaan-intelektual.html?view=classic&m=1

Rabu, 29 April 2015

Jenis-jenis perjanjian

I. JENIS-JENIS PERJANJIAN

Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.

Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan (borgtocht), dan perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah pihak. Misalnya jual beli.

Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian di mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual beli, sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga.

Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.  Contohnya perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan obyek perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai. Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia.

Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam udang-undang. Misalnya perjanjian leaseing, franchising dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan kamar).


Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi:
Zakelijk overeenkomst, adalah perjanjian yang menetapkan dipidindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah.
Bevifs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
Liberatoir overeenkomst, adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
Vaststelling overenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum di antara para pihak.


II. KEBEBASAN BEREKONTRAK
Pengertian Asas kebebasan berkontrak
Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Ketentuan Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata
Dalam KUH Perdata, ketentuan mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Subekti, pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa saja yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” di dalamnya terkandung asas partij autonomie, freedom of contract, beginsel van de contract vrijheid, menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan ke dalam bentuk kontrak standar.

Ketentuan Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Islam
Kebebasan berakad/kontrak (mabda Hurriyyah at Ta’aqud) diakui dalam hukum Islam. Kebebasan berakad merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta bersama dengan jalan batil. Nas-nas al-Quran dan Sunnah Nabi Saw –sebaagi otoritas utama sumber hukum Islam—serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan ini merupakan konkretisasi labih jauh dari spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam bermuammalah. Dalam Firman Allah (QS. 5:1) :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian)……
Ayat ini memerintahkan kaum mu’minin untuk memenuhi akad-akad. Menurut kaidah ushul fikih (metodologi penemuan hukum Islam), perintah dalam ayat ini (kata: aufu) menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini “akad” disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al” (al-aqadàal-uqud). Menurut kaidah usul fikih, jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukan makna umum. Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari sahabat Abu Hurairoh, Rasul bersabda: “orang-orang muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka”. Hadis ini menunjukan bahwa syarat-syarat atau janji-janji apa saja dapat dibuat dan wajib dipenuhi. Terhadap hadis ini, al-Kasani (w. 587/1190) memberi penjealsan, bahwa zahir hadis ini menyatakan wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh suatu dalil, karena hadis ini menuntut setiap orang untuk setia kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janjin itu adalah dengan memenuhi janji tersebut…asasnya ialah bahwa setiap tindakah hukum seseorang terjadi menurut yang ia kehendaki apabila ia orang yang cakap untuk melakukan tindakan tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.
Di samping itu, ada kaidah hukum Islam yang berbunyi, “pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah adanya apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji” Kaidah ini menunjukan adanya kebebasan berakad karena perjanjian itu dinyatakan sebagai berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.

Syarat-syarat didalam asas kebebasan berkontrak
Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memenuhi syarat sebagai kontrak. Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi standar yang telah ditentukan.
2. Tidak dilarang oleh Undang-undang. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.


3.      Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan
4.      Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.

III. KONSENSUALISME
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut.

IV. PACTA SUNT SERVANDA
Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik)



Sumber :
http://www.jurnalhukum.com/jenis-jenis-perjanjian/
https://hukumperdataalfa.wordpress.com/2009/12/09/apa-yang-dinamakan-“konsensualisme”-itu/
http://nurmaliaandriani95.blogspot.com/2013/06/asas-kebebasan-berkontrak.html
http://asashukum.blogspot.com/2012/03/pacta-sunt-servanda.html


Selasa, 31 Maret 2015

PERTAMBANGAN FREEPORT DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN


Indonesia telah meraih kemerdekaannya sejak 64 tahun silam. Namun sejatinya, bangsa ini belum meraih kebebasan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Selama puluhan tahun, Indonesia terjebak dalam sistem pertambangan kapitalis dan mengabaikan amanat konstitusi. Melalui kebijakan-kebijakan yang ada, Indonesia telah lepas kendali dalam pengelolaan sumberdaya pertambangan yang dimilikinya. Sebenarnya, negara kita adalah pemilik sumberdaya alam yang sangat kaya. Namun pada saat mengelolanya negara telah dirugikan oleh korporasi-korporasi swasta dan asing yang dengan leluasa melakukan eksploitasi. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menguasai, mengeksploitasi dan menguras sumberdaya tersebut dengan target produksi sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya.

Beberapa kebijakan yang dikeluarkan justru mendukung penguasaan sumberdaya oleh asing. Misalnya UU No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal serta Peraturan Presiden No.76 dan 77 Tahun 2007, yang seolah member jalan mulus bagi korporasi-korporasi asing untuk menguasai perekonomian Indonesia, termasuk penguasaan sumberdaya pertambangan. Selain itu juga, seperti pada kasus penambangan di hutan lindung yang semula dilarang, seperti tercantum dalam UU No.41 Tahun 1999, namun oleh pemerintah dibolehkan kembali dengan menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2004. Amanat konstitutsi pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan kata lain, pemanfaatan kekayaan alam Negara harus diperuntukkan dan tidak boleh merugikan rakyat. Termasuk juga didalamnya pengelolaan sumberdaya minyak dan gas bumi (migas), pertambangan mineral dan batu bara (minerba) sarta pengelolaan sumberdaya air.

PT Freeport Indonesia
Freeport McMoRan Copper and Gold pada awalnya merupakan sebuah perusahaan kecil yang berasal dari Amerika Serikat yang memiliki nama Freeport Sulphur. Freeport McMoRan didirikan pada tahun 1981 melalui merger antara Freeport Sulphur, yang mendirikan PT Freeport Indonesia dan McMoRan Oil and Gas Company. Perusahaan minyak ini didirikan oleh Jim Bob Moffet yang menjadi CEO Feeport McMoRan. Sejak menemukan deposit emas terbesar dan tembaga terbesar nomor tiga di dunia yang terletak di Papua Barat, perusahaan ini berubah menjadi penambang emas raksasa skala dunia. Total asset yang dimiliki oleh Freeport hingga akhir tahun 2005 mencapai 3.3 miliar US dollar.

Aktivitas pertambangan Freeport di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini talah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua dan masyarakat lokal disekitar wilayah pertambangan.

Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK I ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan No.11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK I. Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Etsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter.

Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung hingga saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7.3 juta ton tembaga dan 724.7 juta ton emas telah dikeruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2.4 kilometer pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalaman 800 m2.

Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/ BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa.

Kerusakan Lingkungan
            Permintaan akan bahan tambang di pasar dunia di masa mendatang tampaknya akan terus meningkat. Permintaan tembaga, misalnya, terus naik bersamaan dengan meningkatnya perekonomian negara-negara di dunia. Hal ini dibarengi dengan peningkatan sektor industri, terutama industri yang berkaitan dengan sektor telekomunikasi dan listrik. Freeport sebagai produsen tembaga tentunya sangat diuntungkan oleh kebutuhan industri ini.
Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994 dan 1,52 juta ton pada tahun 1995. Proyeksi harga komoditas tembaga oleh Bank Dunia menunjukan kecenderungan untuk terus naik. Sementara itu, negara-negara produsen lainnya seperti Amerika dan Canada telah mencapai titik maksimum produksi.

Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport. Produksi tembaga Freeport meningkat sangat tinggi, misalnya pada tahun 1991 sebesar 50% dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat terpenuhi karena semakin besarnya wilayah eksploitasi yang diberikan pemerintah. Saat ini produksi tembaga Indonesia 100% dihasilkan oleh PT Freeport.

Wilayah penambangan PT Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya PT FI hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu dapat dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode Ertsberg (1967-1988) dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi bijih logam yang dikelola Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun 1995 naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih.

Freeport selalu mengklaim berkomitmen terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang kuat. Meskipun telah memiliki pengakuan ISO 14001 dan mengklaim memiliki program komprehensif dalam memantau air asam tambang, Freeport terbukti tidak memiliki pertanggung jawaban lingkungan. Perusahaan ini beroperasi tanpa transparansi dan tidak memenuhi peraturan lingkungan yang ada. Terlepas dari keharusan untuk menyediakan akses publik terhadap informasi terkait lingkungan, Freeport belum pernah mengumumkan dokumen-dokumen pentingnya, termasuk Studi Penilaian Resiko Lingkungan (Environmental Risk Assessment). Freeport juga tidak pernah mengumumkan laporan audit eksternal independen tiga tahunan sejak 1999, seperti yang disyaratkan Amdal. Dengan demikian perusahaan melanggar persyaratan izin lingkungan.

Dampak yang dihasilkan secara kasat mata akibat limbah Freeport tidak kalah menakjubkan. Produksi tailing yang mencapai 220 ribu ton per hari dalam waktu 10 tahun terakhir menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah (wetland) seluas 120 ribu hektar, Freeport masih akan beroperasi hingga tahun 2041. Jika tingkat produksinya tetap, maka akan mencapai 225.000 hingga 300.000 ton bijih per hari. Selain itu, Freeport juga tidak mampu mengolah limbahnya baik limbah batuan (Waste Rock), tailing hingga air asam tambang (Acid Mine Drainage).

Limbah Batuan (Waste Rock)
Hingga tahun 2005, setidaknya sekitar 2.5 milyar ton limbah batuan Freeport dibuang ke alam. Hal ini mengakibatkan turunnya daya dukung lingkungan sekitar pertambangan, terbukti longsor berulang kali terjadi dikawasan tersebut. Bahkan salah satu anggota Panja DPR RI untuk kasus Freeport menemukan fakta bahwa kecelakaan longsor akibat limbah batuan terjadi rutin setiap tiga tahunan. Batuan limbah ini telah menimbun danau Wanagon. Sejumlah danau berwarna merah muda, merah dan jingga dikawasan hulu telah hilang, padang rumput Cartstenz juga didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya yang pada tahun 2014 diperkirakan akan mencapai ketinggian 270 meter dan menutupi daerah seluas 1.35 km2. Erosi limbah batuantelah mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil telah menyebakan sejumlah kecelakaan.

Tailing

Ada dua hal yang membuat tailing Freeport sangat berbahaya. Pertama, karena jumlahnya yang sangat massif dan dibuang begitu saja ke lingkungan. Kedua, kandungan bahan beracun dan berbahaya yang terdapat dalam tailing. Freeport mengklaim bahwa tailingnya tidak beracun karena hanya menggunakan proses pemisahan logam emas dan tembaga secara fisik. Freeport menyebutnya sebagai proses pengapungan (floatasi), tanpa menggunakan sianida dan merkuri. Hal yang sama juga dipakai oleh Newmont untuk tambang emasnya di Batu Hijau Sumbawa, NTB. Faktanya, laporan Freeport menyebutkan mereka menggunakan sejumlah bahan kimia dalam proses pemisahan logam yang bahkan resiko peracunannya tidak banyak diketahui, bahkan oleh Freeport sendiri. Disamping itu, didalam tailing Freeport masih terdapat kandungan tembaga yang masih tinggi dan sangat beracun bagi kehidupanaquatic. Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi peresapan biologis (bioavailability) oleh Freeport di daerah yang terkena dampak operasi tambang membuktikan bahwa sebagian besar tembaga terlarut dalam air sungai terserap oleh tubuh makhluk hidup dan ditemukan kandungannya pada tingkat beracun. Tembaga terlarut pada kisaran konsentrasi yang ditemukan di sungai Ajkwa bagian bawah mencapai tingkat racun kronis bagi 30% hingga 75% organism air tawar. Tak hanya berbahaya karena kandungan logam beratnya, jumlah tailing Freeport yang sangat masif juga memiliki bahaya yang sama. Hingga tahun 2005 tidak kurang dari 1 milyar ton tailing beracun dibuang Freeport ke sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa. Padahal cara pembuangan tailing kesungai atau riverine tailing disposalseperti ini telah dilarang disebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia.

Air Asam Tambang (Acid Mine Drainage)
Batuan tambang Freeport mengandung logam sulfide (metal sulfides). Dimana ketika digali, dihancurkan dan terkena udara dan air akan menjadi tidak stabil sehingga menghasilkan masalah lingkungan serius. Masalah ini dikenal sebagai air asam tambang (Acid Mine Drainage). Yang berbahaya karena memiliki tingkat keasaman sangat tinggi (pH rendah). Limbah batuan tambang Grasberg yang terakumulasi berpotensi membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke lingkungan sekitar Grasberg dan menghasilkan AMD dengan tingkat keasaman tinggi hingga rata-rata pH=3. Kandungan tembaga pada batuan rata-rata 4.500 gram per ton dan eksperimen menunjukkan bahwa sekitar 80% tembaga ini akan tebuang (leach) dalam beberapa tahun. Bukti menunjukkan pencemaran AMD dengan tingkat kandungan tembaga sekitar 800 miligram per liter telah meresap ke air tanah di pegunungan. Resiko pencemaran AMD juga terjadi di dataran rendah di daerah penumpukan tailing. Hal ini terjadi karena Freeport menetapkan rasio yang sangat rendah dalam penetralan asam (kapur) dibanding potensi maksimum keasaman hanya (1.3 : 1), bahkan lebih rendah dibanding praktek terbaik industri tambang yang ada. Partikel sulfida yang menghasilkan asam cenderung mengendap terpisah dari partikel kapur yang lebih ringan yang bertugas menetralisir asam.

Pelanggaran Hukum Lingkungan
Sebagian besar kehidupan air tawar sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing telah hancur akibat pencemaran dan perusakan habitat. Freeport telah melanggar PP No.82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dalam pasal 11 disebutkan bahwa pencemaran air adalah memasukkan atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Solusi
Tambang Freeport adalah bukti kesalahan pengurusan pada sektor pertambangan di Indonesia dan bukti tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industry pertambangan di tanah Papua. Tak hanya sebatas itu, pemerintah juga tidak pernah mampu mengontrol perusahaan pertambangan agar lebih bertanggung jawab. Itulah sebab nya pemerintah terus membiarkan Freeport membuang miliyaran limbahnya ke alam. Meskipun belakangan diketahui bahwa Freeport belum memiliki izin pembuangan limbah B3. Kementrian Lingkungan Hidup bahkan sudah menemukan sejumlah bukti pelanggaran ketentuan hukum lingkungan sejak tahun 1997 hingga 2006. Pemerintah juga tidak berani memaksa Freeport melakukan renegosiasi Kontrak Karya, meskipun banyak pihak mendukung dan berbagai basis argumentasi telah dimiliki.

Oleh karena itu, ada beberapa solusi dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain :melakukan evaluasi terhadap seluruh aspek pertambangan Freeport terutama aspek pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, melakukan perubahan Kontrak Karya Freeport yang lebih menguntungkan bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat Papua pada khususnya, memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli Papua terutama yang berada di wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnya mengenai masa depan pertambangan tersebut serta memetakan dan mengkaji sejamlah skenario bagi masa depan Freeport, termasuk kemungkinan penutupan, kapasitas produksi dan pengolahan limbah.

Konsep pembangunan berkelanjutan harus dikedepankan oleh pemerintah, dengan memelihara kelestarian lingkungan. Maka, pemerintah dapat menghentikan secara sepihak kegiatan korporasi asing yang dapat merusak lingkungan selama melakukan penambangan sumberdaya alam Indonesia. Perusakan lingkungan oleh asing merupakan utang lingkungan. Seluruh pajak, royalty dan pembagian keuntungan yang diperoleh Indonesia melalui korporasi pertambangan asing, niscaya tidak akan dapat membangun kembali lingkungan yang telah rusak total tersebut. Oleh karena itu, penanganan kasus ini merupakan agenda mendesak yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.

Si Pembawa Maut
Antimon
Antimon (Sb) sudah dikenal sejak abad ke-17. Terdiri dari dua bentuk, metal padat berwarna perak dan serbuk halus berwarna abu-abu. Banyak digunakan dalam industri untuk menguatkan metal lainnya. Juga untuk baterai, peluru, dan pelapis kabel.
Arsenik
Arsenik (As) adalah logam toksik yang terdapat di alam, air, dan batu. Berwarna abu-abu, berbentuk kristal, dan rapuh. Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan kematian dan penyakit lain. Susah di deteksi karena tidak berbau dan tidak terasa.

Merkuri
Merkuri (Hg) atau air raksa. Sudah digunakan sejak masa Mesir kuno 1.500 tahun sebelum Masehi. Keracunan merkuri mengakibatkan kerusakan permanen pada otak, sistem saraf, paru-paru, usus, ginjal, dan bahkan kematian.

Alternatif Pengolahan Limbah Logam Berat
Sistem pembuangan limbah padat (tailing) seperti dilakukan PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat berisiko tinggi. Maklumlah, teknologi pembuangan tailing yang disebut submarine tailing disposal (STD) ini menggunakan prinsip termoklin alias membuang limbah ke dasar laut.

Menurut Hazardous Substance Research Center di St. Louis, Amerika Serikat, ada dua teknologi alternatif untuk mengolah limbah padat berkandungan merkuri (Hg) dan arsenik (As), yaitu low temperature thermal desorption (LTTD), atau teknologi phytoremediation.

Low Temperature Thermal Desorption
Material diuraikan pada suhu rendah (< 300 derajat Celsius) dengan pemanasan tidak langsung serta kondisi tekanan udara lebih kecil dari 1 atmosfer. Material akan lebih mudah diuapkan daripada dalam kondisi tekanan tinggi. Dengan sistem ini, polutan merkuri dan arsen akan menguap (desorpsi), sedangkan limbah padat yang telah bersih dari polutan dapat dibuang ke tempat penampungan.
Keunggulan: Proses pengolahan cepat, investasi peralatan murah.
Kelemahan: Daerah buangan terbatas.

Phytoremediation
Menggunakan pohon, rumput, atau tanaman lain sebagai alat pengolah bahan pencemar. Limbah padat atau cair yang akan diolah ditanami tanaman tertentu yang menyerap, mengumpulkan, mendegradasi bahan-bahan pencemar dalam limbah.
Keunggulan: Mudah dan murah.
Kelemahan: Perlu waktu lama dan pupuk untuk menjaga kesuburan tanaman. Limbah di bawah tanah tak terjangkau. Tanaman kemungkinan beracun.


sumber :
http://apitmoti.blogspot.com/p/pertambangan-freeport-dan-kerusakan.html